Muhammad Khozin, anggota Komisi II DPR, mengungkapkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan pemilu lokal dan nasional tidak bisa langsung diatur dalam undang-undang. Menurutnya, implementasi putusan MK memunculkan dilema dalam pelaksanaannya. Meskipun harus diimplementasikan karena bersifat final dan tidak dapat banding, namun bisa saja bertentangan dengan UUD ’45.
Hal ini, kata Khozin, menjadi catatan penting dalam pembahasan di DPR RI, bahwa putusan MK tidak dapat diterapkan secara otomatis karena implikasinya secara konstitusional. Terkait pelaksanaan pemilu, Pasal 22E ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa pemilu presiden, DPR, DPD, dan DPRD diselenggarakan sekali dalam lima tahun menjadi pertimbangan penting.
Dalam konteks ini, Khozin menyebut dua opsi untuk mengimplementasikan putusan MK. Pertama, melakukan amendemen terbatas terhadap UUD terutama Pasal 22E. Kedua, DPR dapat mengakomodasi putusan MK dalam revisi UU Pemilu, namun dengan tafsir yang disertakan. Namun demikian, Khozin juga menyoroti ketiadaan yurisprudensi yang mengatur tentang penjabat sementara untuk DPRD setelah habis masa jabatan pada tahun 2029 karena pemilu lokal dipisahkan dari pemilu nasional.
Selain itu, putusan MK juga dianggap sebagai masukan bagi DPR, setelah terjadi pertemuan dengan pemerintah untuk membahas isu ini. MPR juga direncanakan akan menggelar pertemuan internal untuk mendiskusikan putusan tersebut. Namun, belum dipastikan apakah pertemuan tersebut juga akan membahas peluang amendemen terbatas UUD. Khozin menekankan pentingnya klarifikasi dan pemahaman dalam menghadapi putusan MK yang kontroversial ini.