Penyematan gelar ‘Haji’ atau ‘Hajjah’ setelah menunaikan ibadah haji ternyata memiliki kekayaan sejarah, budaya, dan agama yang panjang. Tradisi ini berasal dari masa ketika perjalanan haji menuju Tanah Suci sangat sulit bagi masyarakat Nusantara. Dilansir dari Kementerian Agama, Filolog dan Staf Ahli Menteri Agama, Oman Fathurahman, menyatakan bahwa gelar tersebut diberikan sebagai penghargaan atas perjuangan yang dilakukan untuk mencapai tempat yang suci, melalui perjalanan yang keras dan berliku. Keberhasilan menunaikan ibadah haji dianggap sebagai ujian besar bagi seseorang. Sehingga, menyematkan gelar ‘Haji’ atau ‘Hajjah’ di depan nama mereka menjadi bentuk penghormatan terhadap pencapaian spiritual dan fisik tersebut.
Tradisi penyematan gelar haji tidak hanya berlaku di Indonesia, namun juga ditemui dalam berbagai wilayah Melayu Islam dan Mesir Utara. Gelar tersebut memiliki nilai sosial yang tinggi dan dianggap sebagai simbol status. Secara keagamaan, haji adalah rukun Islam kelima yang membutuhkan biaya, waktu, serta syarat-syarat yang tidak mudah. Banyak tokoh masyarakat yang menyandang gelar haji, menunjukkan betapa pentingnya haji dalam masyarakat. Dalam perspektif kolonial, pemerintah Hindia Belanda membuka Konsulat Jenderal pertama di Arabia pada tahun 1872 untuk mengawasi pergerakan jamaah haji. Meskipun demikian, Snouck Hurgronje menyatakan bahwa jamaah haji saat itu tidak boleh ditakuti sebagai ancaman politik.
Secara keseluruhan, penyematan gelar haji memiliki makna yang mendalam dan kompleks, melibatkan aspek sejarah, keagamaan, budaya, dan kolonial. Gelar tersebut tidak hanya merupakan penghormatan atas keberhasilan menunaikan ibadah haji, namun juga sebagai simbol status sosial yang tinggi di masyarakat. Menjaga keikhlasan dan akhlak setelah menunaikan haji merupakan hal yang penting dalam menerima gelar tersebut. Tradisi ini terus berkembang dan menjadi bagian integral dari budaya Muslim Indonesia dan wilayah Melayu Islam lainnya.
