Kamis, 2 November 2023 – 11:04 WIB
Gaza – Ketika Fady Abukhousa melakukan perjalanan ke Jalur Gaza beberapa minggu yang lalu dari Australia, ia tidak pernah membayangkan bahwa akan menghadapi skenario mimpi buruk.
Bersama dengan istrinya Amani dan dua anak kecil mereka, Mohammed dan Yazan, yang semuanya adalah warga negara Australia, melakukan kunjungan ke keluarga mereka di wilayah terkepung tersebut.
Fady Abukhousa memutuskan untuk kembali ke Sydney pada akhir September, meninggalkan istri dan anak-anaknya di sana. Saat ini, mereka terjebak di wilayah yang terblokir, Jalur Gaza, selama kampanye pemboman Israel yang telah menghancurkan daerah tersebut. Anggota keluarganya yang bukan warga negara Australia juga terjebak, termasuk ibu dan saudara laki-lakinya.
“Ini sangat sulit,” kata Abukhousa kepada Al Jazeera, dikutip Kamis, 2 November 2023.
Ia menambahkan bahwa anak-anaknya, yang berusia tujuh dan 10 tahun, tidak dapat tidur di malam hari karena pemboman yang tiada henti.
Sejak dia mengetahui bahwa perbatasan yang menghubungkan Mesir dengan Jalur Gaza dibuka sementara pada hari Rabu (1/11) untuk memungkinkan sejumlah orang yang terluka parah, dan warga negara asing untuk keluar, Abukhousa berusaha mati-matian untuk menghubungi keluarganya. Istri dan anak-anaknya, bersama dengan sekitar 500 orang lainnya, termasuk dalam daftar orang asing dan berkewarganegaraan ganda yang menurut Otoritas Perbatasan dan Penyeberangan Gaza telah dihubungi Rabu pagi, mendesak mereka untuk berangkat ke perbatasan Rafah. Namun karena pemutusan komunikasi yang diberlakukan kembali oleh Israel di Gaza semalam, Abukhousa tidak tahu apakah mereka mendapat berita tersebut. Dia juga belum mendengar kabar dari keluarganya dalam dua hari.
Situasi yang dialaminya merupakan simbol dari tantangan yang terus ada dalam mengeluarkan orang-orang dari Gaza dari pemboman Israel terhadap jalur tersebut setelah serangan Hamas terhadap Israel selatan pada tanggal 7 Oktober. “Saya kira mereka tidak tahu [penyeberangan] terbuka,” kata Abukhousa, mengacu pada keluarganya. Keluarganya telah menempuh perjalanan empat kali dalam beberapa minggu terakhir, saat mereka berlindung sekitar 20 menit berkendara, di kamp pengungsi Bureij yang terletak di Jalur Gaza tengah. Namun mereka tetap pergi, karena menyadari bahwa perbatasan masih tertutup karena situasi di perbatasan terlalu berbahaya bagi mereka untuk tinggal.
Sementara itu, Kedutaan Besar Australia mengatakan kepada Abukhousa bahwa mereka tidak bisa berbuat banyak untuk membantu keluarganya.
Tidak ada jalan yang aman
Al Jazeera berbicara dengan empat warga negara ganda lainnya yang masuk dalam daftar Otoritas Perbatasan dan Penyeberangan Gaza. Dua di antara mereka, yang berkewarganegaraan ganda, masing-masing Jepang dan Indonesia, tidak menerima telepon dari kedutaan mereka atau pihak berwenang lainnya yang menyuruh mereka untuk berangkat ke perbatasan. Seorang wanita, Samira Ismail Abusharkh, dengan kewarganegaraan ganda di Austria, mengatakan dia menerima telepon dari kedutaan Austria yang meminta agar dia dan suaminya menuju penyeberangan Rafah, namun mereka tidak memberikan informasi tentang sarana transportasi, katanya kepada Al Jazeera. Seorang pria lain, yang kedua anaknya bernama Islam dan Hisham berkewarganegaraan Jepang, disuruh oleh kedutaan Jepang untuk menuju penyeberangan Rafah. Namun serangan udara terus berlanjut di sekitar mereka dan tidak ada jalan keluar yang aman, katanya kepada Al Jazeera.
Sekembalinya ke Sydney, Abukhousa mengatakan dia terkejut dengan laju konflik dan kehancuran yang terjadi, sambil menunggu kabar dari keluarganya sekali lagi. “Situasinya sangat buruk,” katanya.