LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [SULTAN AGUNG ADI PRABU HANYAKRAKUSUMA (SULTAN AGUNG)]

by -120 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Seringkali, pasukan kolonial tidak perlu pergi berperang untuk merebut kekuasaan di Nusantara. Terkadang, yang mereka lakukan hanyalah memberikan hadiah atau memberi suap kepada para raja yang berkuasa.

Namun, dalam sejarah Nusantara, ada beberapa sultan dan raja yang kesetiaannya tidak dapat dibeli oleh Belanda. Mereka memahami strategi ekonomi Belanda, dan mereka menolak untuk tunduk kepada janji manfaat ekonomi dan perhiasan.

Salah satu sultan yang teguh pendiriannya melawan Belanda adalah Sultan Agung. Meskipun tidak berhasil merebut Batavia dari tangan Belanda, keteguhan dan semangat yang ditunjukkannya untuk mengusir Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) sudah cukup untuk menjamin tempatnya dalam sejarah.

Hingga akhir hayatnya, Sultan Agung tidak mau tunduk kepada tawaran yang diberikan oleh VOC meskipun menarik bagi dirinya secara pribadi.

Indonesia telah mengalami ratusan tahun kolonisasi oleh kekuatan asing. Portugis, Belanda, Britania, Prancis, dan Jepang telah pada waktu tertentu menjajah Indonesia. Prancis menjajah Indonesia di bawah pemerintahan Napoleon selama masa Gubernur Jenderal Daendels. Daendels diangkat untuk memerintah Indonesia oleh saudara Napoleon, Raja Belanda.

Pada masa pra-kemerdekaan itu, para penjajah mengambil kekayaan kita dengan kekerasan. Mereka menyandera rakyat kita.

Seringkali, kekuatan kolonial tidak memerlukan tindakan perang apa pun untuk merebut kekuasaan di Nusantara. Terkadang, yang mereka lakukan hanyalah memberikan hadiah atau memberi suap kepada raja yang berkuasa. Jika seseorang mengunjungi museum Belanda saat ini, seperti Rijksmuseum di Amsterdam. Di museum itu, seseorang dapat melihat sendiri hadiah-hadiah mewah Belanda kepada para pemimpin saat itu di Indonesia, yakni para sultan dan raja Nusantara, untuk memerintah kepulauan tersebut.

Hadiah-hadiah seperti itu tidak berharga dibandingkan dengan apa yang mereka ambil dari kita. Para penjajah memanfaatkan ketidakberanian beberapa sultan dan raja Nusantara di masa lalu. Mereka membeli Indonesia dengan harga yang sangat rendah.

Ada beberapa sultan dan raja yang kesetiaannya tidak dapat dibeli oleh Belanda. Mereka memahami strategi ekonomi Belanda, dan mereka menolak untuk tunduk kepada janji manfaat ekonomi dan perhiasan. Banyak dari para pemimpin idealis ini akhirnya dihadapkan oleh rekan-rekan mereka yang telah dibeli oleh Belanda. Beberapa bertindak karena provokasi, berita palsu, dan upaya memecah belah (divide et impera).

Salah satu sultan Nusantara yang teguh dalam pendiriannya melawan Belanda adalah Sultan Agung. Meskipun tidak berhasil membebaskan Batavia dari kekuasaan Belanda, keteguhan dan semangatnya untuk mengusir VOC (Perusahaan Hindia Timur Belanda) dari Jawa lainnya menjamin baginya tempat yang agung dalam sejarah. Hingga akhir hayatnya, Sultan Agung menolak untuk berdamai dengan VOC meskipun tawaran-tawaran yang menggiurkan.

Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma lahir pada tahun 1593 di Kotagede, Yogyakarta. Ia adalah Sultan keempat Mataram yang memerintah dari tahun 1613 hingga 1645.

Ia adalah seorang sultan dan komandan yang terampil yang membangun negaranya dan mengkonsolidasikan kerajaannya menjadi kekuatan teritorial dan militer yang besar. Sultan Agung dihormati di Jawa atas perjuangannya untuk mempertahankan pulau tersebut.

Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau Raden Mas Rangsang. Ayahnya adalah Raja Mataram kedua, sementara ibunya adalah putri Pangeran Benawa, Raja Pajang. Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang diberi gelar Panembahan Agung. Kemudian setelah menaklukkan Madura pada tahun 1624, ia mengubah gelarnya menjadi Susuhunan Agung atau, singkatnya, Sunan Agung.

Pada tahun 1641, Sunan Agung memperoleh gelar Arab – Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram – dari imam Masjid al-Haram di Mekkah, Arab Saudi.

Sultan Agung naik tahta pada tahun 1613. Pada tahun 1614, VOC (berbasis di Ambon saat itu) mengirim utusan untuk membujuk Sultan Agung untuk berkolaborasi, namun ia menolak tawaran tersebut dengan tegas.

Pada tahun 1618, Mataram dilanda kegagalan panen akibat perang yang berkepanjangan melawan Surabaya. Namun, Sultan Agung tetap menolak berkolaborasi dengan VOC.

Sultan Agung mencoba menjalin hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun, hubungan ini diputus pada tahun 1635 karena posisi lemah Portugis.

Seluruh pulau Jawa pernah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia, yang masih diduduki oleh militer VOC-Belanda. Pada saat itu, Banten sudah terasimilasi secara budaya. Daerah di luar Jawa yang berhasil ditaklukkan Kesultanan Mataram adalah Palembang di Sumatera pada tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan pada tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, kerajaan terkuat di Sulawesi saat itu.

Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan yang besar melalui kekuatan militer, budaya bangsanya yang mulia, dan pembangunan ekonomi, terutama dengan diperkenalkannya sistem pertanian.

Source link