Selasa, 19 Desember 2023 – 01:01 WIB
Jakarta – Kapal pengangkut para pengungsi etnis Rohingya, termasuk perempuan dan anak-anak, telah tiba di Provinsi Aceh, Indonesia. Para pengungsi tersebut telah tiba di Aceh dan langsung dibawa ke kamp Pramuka di Kabupaten Pidie.
Namun, warga setempat langsung memblokir pintu masuk dan melarang mereka masuk ke Aceh. Pihak berwenang mengawal para pengungsi ke pusat konvensi yang dikelola oleh Kemensos. Namun sayangnya, penduduk setempat tidak memperbolehkan mereka untuk tinggal.
Dilansir dari Associated Press, para pengungsi akhirnya dibawa kembali ke kantor gubernur. Mereka kemudian ditampung di kompleks gedung pertemuan Kota Banda Aceh. Saat ini, lebih dari 1.500 pengungsi Rohingya yang ada di Aceh.
Mereka datang ke beberapa negara Muslim karena memiliki masalah di negara asal mereka, yaitu Myanmar. Negara tersebut tidak mau mengakui orang Rohingya sehingga mereka memutuskan untuk mengungsi ke beberapa negara. Berikut adalah negara-negara penampung Rohingya.
1. Indonesia
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan bahwa Indonesia hanya akan memberikan perlindungan sementara bagi pengungsi Rohingya karena negara ini menganut prinsip kemanusiaan dalam konstitusi.
Menurut Konvensi Pengungsi tahun 1951, hanya negara dalam konvensi yang wajib melindungi pengungsi sesuai kewajibannya. Indonesia sendiri tidak meratifikasi konvensi tersebut, sehingga Indonesia berhak menolak tempat pengungsi menurut hukum internasional.
Menurut catatan UNHCR, pengungsi Rohingya yang berada di Malaysia sekitar 107.030 orang hingga akhir Oktober 2023. Sama halnya dengan Indonesia, Malaysia tidak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi. Namun, Malaysia telah menerima pengungsi sejak tahun 2013.
Negara ini juga menjadi salah satu tujuan para pengungsi Rohingya karena Malaysia memiliki sejarah panjang dalam menerima pengungsi dari berbagai negara yang mengalami konflik.
Para pengungsi ini meninggalkan Myanmar yang mayoritas beragama Buddha untuk menuju ke kamp di Bangladesh sejak Agustus 2017. Di wilayah tersebut, banyak terjadi penculikan, pemerasan, pembunuhan, penembakan, dan serangan. Mereka juga mendapatkan batasan dalam mengakses pekerjaan dan pendidikan, serta tidak diizinkan untuk bekerja atau bersekolah yang layak karena pemerintah Bangladesh tidak mengizinkan mereka berinteraksi dengan masyarakat umum.