Rabu, 6 Desember 2023 – 04:16 WIB
VIVA Dunia – Pada pekan lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin mendesak para wanita di negaranya untuk memiliki delapan anak dan menjadikan keluarga dengan jumlah besar sebagai tradisi “norma”.
Putin mengatakan hal ini saat berpidato di depan Dewan Rakyat Rusia Sedunia di Moskow. Seperti diketahui, angka kelahiran di Rusia telah menurun sejak tahun 1990an dan negara tersebut telah menderita lebih dari 300.000 korban sejak dimulainya Perang Ukraina pada bulan Februari tahun lalu, dilansir dari laman The Independent, Selasa, 5 Desember 2023.
Putin mengatakan meningkatkan populasi Rusia akan menjadi “tujuan negara kita dalam beberapa dekade mendatang”.
“Banyak kelompok etnis kita yang melestarikan tradisi memiliki keluarga multigenerasi yang kuat dengan empat, lima, atau bahkan lebih anak. Ingatlah bahwa keluarga Rusia, banyak nenek dan nenek buyut kita memiliki tujuh, delapan, atau bahkan lebih anak,” kata Putin saat berpidato di depan dewan.
“Mari kita lestarikan dan hidupkan kembali tradisi-tradisi luar biasa ini. Keluarga besar harus menjadi norma, cara hidup bagi seluruh masyarakat Rusia. Keluarga bukan sekadar fondasi negara dan masyarakat, melainkan fenomena spiritual, sumber moralitas,” tambah presiden berusia 71 tahun itu.
“Melestarikan dan meningkatkan populasi Rusia adalah tujuan kami untuk beberapa dekade mendatang dan bahkan generasi mendatang. Ini adalah masa depan dunia Rusia, Rusia yang abadi dan berusia milenium,” kata Putin.
Konferensi tersebut diselenggarakan oleh pimpinan Gereja Ortodoks Rusia, Patriark Kirill, dan dihadiri oleh perwakilan beberapa organisasi tradisional Rusia.
Meskipun komentar Putin itu tidak secara langsung mengacu pada skala korban yang diderita tentara Rusia dalam Perang Ukraina, namun banyak media yang mengaitkannya dengan konflik tersebut.
Kementerian Pertahanan Inggris mengatakan jumlah korban tewas di Ukraina kemungkinan telah melampaui 300.000 orang.
Ada juga laporan dari kelompok kebijakan independen Rusia Re: Russia yang mengklaim sekitar 820.000-920.000 orang telah meninggalkan negara tersebut.