Our Difficult Choices and Struggles

by -58 Views

Oleh: Prabowo Subianto, disadur dari “Strategi Transformasi Nasional: Menuju Indonesia Emas 2045,” halaman 223-227, edisi cetak keempat.

Bagi saya, terlibat dalam politik berarti mempersembahkan pengorbanan—energi, waktu, dan emosi. Namun, tanpa terlibat dalam politik, tidak ada cara bagi saya untuk meningkatkan kehidupan banyak orang.

Saya yakin bahwa peningkatan yang signifikan dalam kehidupan warga negara kita tidak bisa dicapai dengan hanya mengeluh dan mengkritik. Demikian pula, kita tidak bisa memperbaiki bangsa ini dengan hanya diam sebagai penonton atau dengan menyalahkan tanpa tindakan.

Beberapa dari Anda yang membaca buku ini mungkin sudah terlibat dalam politik, atau setidaknya memahami dan peduli akan politik nasional kita. Ada yang mungkin belum terlibat. Bagi yang belum terlibat, saya mendorong Anda untuk merenungkan hal berikut ini.

Ada saat dalam hidup kita ketika kita harus membuat pilihan yang sulit. Apakah kita berdiri untuk kebenaran, atau kita menyetujui kebohongan?

Apakah kita dengan tegas membela integritas dan kemerdekaan bangsa kita serta nilai-nilai yang kita junjung tinggi? Atau, apakah kita menyerah pada godaan uang, menjual nilai-nilai kita, diri kita, identitas kita, dan martabat kita?

Pilihan-pilihan seperti ini sangat sulit.

Pada tahun 1945, pemimpin kita menghadapi dilemma semacam itu: menyatakan kemerdekaan atau menunggu diberikannya oleh penjajah. Mereka yang mendorong untuk segera menyatakan kemerdekaan menghadapi segalanya, termasuk nyawa mereka.

Pada malam 10 November 1945, rakyat dan pemimpin Surabaya dihadapkan pada keputusan sulit: menyerah pada tuntutan Inggris dengan menyerahkan senjata mereka sebelum 9 November atau menghadapi serangan oleh kekuatan super global saat itu.

Bayangkan kerugian pada kebanggaan nasional kita jika para pemimpin dan warga Surabaya menyerah. Bagaimana jika Gubernur Suryo, Bung Tomo, dan semua pemimpin Jawa Timur dan Surabaya tunduk pada tuntutan asing? Di mana martabat kita berdiri hari ini?

Krisis besar bangsa kita pada tahun 1965 juga menunjukkan pilihan yang jelas: mempertahankan Pancasila atau menyerah pada sebuah ideologi yang asing bagi negara kita, yaitu komunisme?

Demikian pula, selama era Reformasi pada tahun 1998, banyak pemimpin kita dihadapkan pada pilihan yang sulit: mempertahankan sistem yang tidak demokratis atau dengan berani menjadi pembela reformasi dan demokrasi?

Selama 20 tahun perjalanan politik saya, saya terus membagikan pesan yang terdapat dalam buku ini. Selama perjalanan itu, banyak lawan telah berusaha untuk mencemarkan reputasi saya, menggambarkan saya sebagai orang yang haus akan kekuasaan dan cenderung kekerasan.

Namun, setelah puluhan tahun, saya telah membuktikan komitmen saya untuk perdamaian. Sebagai mantan prajurit yang pernah menyaksikan perang dan korban-korbannya, yang pernah melihat rekan-rekan jatuh dan harus memberitahukan keluarga mereka tentang kematian mereka, saya selalu memilih jalan perdamaian. Tuduhan yang dilemparkan kepada saya adalah sangat tidak berdasar. Saya dituduh ingin menutup semua gereja di Indonesia, padahal sebagian dari keluarga saya adalah orang Kristen. Di antara orang-orang yang dekat dengan saya—pengawal, ajudan, dan sekretaris—beberapa adalah orang Kristen.

Sebagai mantan prajurit TNI, saya bersumpah untuk membela semua warga Indonesia, tanpa memandang etnis, agama, atau ras. Saya telah mengorbankan nyawa saya, dan banyak bawahan saya dari berbagai latar belakang telah tumbang di bawah komando saya.

Bagaimana mungkin saya mengkhianati sumpah saya dan melupakan pengorbanan bawahan saya?

Saya juga dipersalahkan sebagai anti-Tionghoa, meskipun selalu membela semua kelompok minoritas. Fitnah semacam itu adalah sisi jelek dari politik. Saya selalu mendorong teman-teman dan pendukung saya untuk tetap sabar dan tenang. Jangan merespons kebencian dengan kebencian, kejahatan dengan kejahatan, fitnah dengan fitnah. Meskipun kami tetap sabar, kita juga harus siap—secara mental, fisik, dan spiritual. Bagi yang membaca buku ini, saya meminta Anda untuk merenungkan di waktu malam tentang pendapat, sikap, dan respons Anda.

Saya bertanya apakah kita akan bersama-sama membela kebenaran atau menyerah pada kebohongan, penipuan, ketidakadilan?

Dan dalam beberapa hari ke depan, setelah renungan Anda, saya mengundang Anda untuk mengambil langkah-langkah menuju masa depan. Saya telah memilih untuk berjuang dengan landasan konstitusi. Saya menolak untuk tunduk pada keadaan yang tidak adil dan salah. Saya percaya bahwa apa yang sedang dialami Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh campur tangan asing. Beberapa negara ingin melihat Indonesia lemah, hancur, dan miskin.

Saya memiliki bukti kuat atas keterlibatan mereka. Namun, kita harus tetap tenang. Kita perlu sabar dan percaya pada kekuatan kita sendiri.

Source link