Pertahanan Indonesia kembali menjadi sorotan media internasional karena keputusan pemerintah dalam mengarahkan modernisasi kekuatan udara TNI AU yang sedang mengalami dilema. Di satu sisi, Indonesia berpeluang untuk mendapatkan jet tempur terbaik buatan Amerika Serikat, Boeing F-15EX Eagle II. Namun, Indonesia juga terikat pada proyek bersama dengan Korea Selatan dalam pengembangan jet tempur generasi 4.5 KF-21 Boramae.
Keputusan ini tidak hanya tentang memilih pesawat tempur, melainkan juga tentang masa depan industri pertahanan Indonesia. Apakah Indonesia akan memilih untuk membeli teknologi siap pakai dari sekutu strategisnya, atau tetap menginvestasikan waktu dan sumber daya pada proyek bersama yang penuh risiko dan utang?
Media pertahanan luar negeri menggambarkan keputusan ini sebagai langkah yang “membingungkan” tetapi juga strategis. Indonesia telah menunjukkan pendekatan yang kompleks dengan memproses akuisisi Rafale dari Prancis, menunda F-15EX dari Amerika Serikat, dan tetap mempertahankan komitmen pada KF-21 Boramae bersama Korea Selatan.
Drama di balik layar yang mendorong masa depan kekuatan udara Indonesia ke persimpangan tersebut mencakup ketertarikan pada F-15EX Eagle II yang mendapat persetujuan langsung dari pemerintah Amerika Serikat. Namun, Indonesia juga terikat pada proyek besar dengan Korea Selatan, KF-21 Boramae, yang menawarkan tidak hanya jet tempur tetapi juga transfer teknologi.
Keputusan Indonesia dalam mengelola program jet tempurnya dipandang unik oleh analis militer luar negeri. Terlepas dari itu, pilihan sulit antara pragmatis atau idealis akan menentukan masa depan Angkatan Udara Republik Indonesia. Jika Indonesia memilih F-15EX, mereka akan mendapatkan superioritas udara dengan teknologi teruji, sementara jika tetap pada KF-21, Indonesia akan memiliki kesempatan untuk membangun kemandirian industri pertahanan meskipun dengan risiko panjang.
