Generasi Z, yang lahir sekitar tahun 1995-2010, sering dikaitkan dengan gaya hidup konsumtif dan antusias mencari pengalaman baru yang menarik. Mereka dikenal sebagai kelompok yang aktif mengikuti tren, mencoba hal-hal baru, dan lebih memilih pengalaman daripada kepemilikan barang material. Namun, pertanyaan muncul, apakah kecenderungan ini membuat mereka lebih rentan terjebak dalam utang. Dalam melihat faktor-faktor ini, data dan pandangan para ahli penting untuk memberikan gambaran mengenai pola konsumsi, perilaku finansial, serta risiko yang mungkin dihadapi oleh generasi ini.
Beberapa indikator menunjukkan bahwa Generasi Z cenderung lebih fokus pada gaya hidup daripada pada menabung atau berinvestasi. Kebiasaan seperti menghabiskan waktu di kafe, berbelanja online, dan membeli produk bermerek sering menjadi prioritas pengeluaran. Selain itu, kemudahan akses ke fasilitas kartu kredit, PayLater, dan pinjaman online juga mendorong perilaku belanja impulsif tanpa mempertimbangkan kondisi finansial yang sebenarnya.
Data dari Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan bahwa hampir 40 persen dari kasus kredit macet pinjaman daring berasal dari kelompok usia 19 hingga 34 tahun, yang meliputi Gen Z dan milenial. Fenomena ini dipengaruhi oleh gaya hidup FOMO atau Fear of Missing Out dan YOLO atau You Only Live Once, yang mendorong pengambilan utang tanpa pertimbangan matang terhadap situasi keuangan personal.
Selain itu, riset juga mencatat bahwa lebih dari 60 persen anak muda, termasuk Generasi Z, tidak memiliki dana darurat. Kurangnya kesadaran akan pentingnya dana darurat, ditambah dengan kemudahan transaksi digital, membuat pengeluaran seringkali sulit terkendali.
Meskipun demikian, ada sejumlah Gen Z yang mulai menerapkan strategi cerdas seperti soft saving, transparansi finansial, serta dukungan dari keluarga. Langkah-langkah ini diharapkan dapat membantu mereka lebih bijak dalam mengelola keuangan pribadi dan menghindari terjerat dalam utang yang berpotensi merugikan.