Pada Rabu, 6 Agustus 2025, Angkatan Udara Amerika Serikat sedang merencanakan masa depan pertempuran udara yang revolusioner dengan jet tempur siluman F-22 Raptor. Jet tempur ini akan menjadi pemimpin pasukan drone otonom dalam misi tempur, mengendalikan sekelompok drone bersenjata menggunakan tablet sebagai strategi perang modern. Program Collaborative Combat Aircraft (CCA) ini menggabungkan kecerdasan buatan dan kecerdasan manusia dalam sistem yang diproyeksikan menjadi tonggak terbesar dalam sejarah peperangan udara.
F-22 Raptor akan menjadi jet tempur pertama yang dikembangkan untuk mengendalikan drone CCA. Dengan dana lebih dari 15 juta dolar AS di tahun fiskal 2026, program ini menyertakan pembelian 142 unit perangkat tablet dan peralatan penunjang lain yang akan dipasang di kokpit F-22. Meskipun terdengar futuristik, pengendalian drone melalui tablet menimbulkan kekhawatiran terkait beban kerja pilot yang tinggi. Perusahaan teknologi militer, General Atomics dan Anduril, telah ditunjuk oleh USAF untuk mengembangkan prototipe drone CCA generasi pertama.
Lockheed Martin juga berperan dalam pengembangan teknologi kendali drone dari dalam kokpit, dengan antarmuka layar sentuh yang memungkinkan pilot memerintahkan banyak drone secara simultan. Penggabungan jet tempur berawak dan drone otonom menimbulkan tantangan teknis terkait kecerdasan buatan dan keamanan udara. USAF melakukan uji coba menggunakan beberapa platform, seperti X-62A VISTA dan proyek VENOM yang melibatkan F-16, sebagai langkah awal menuju integrasi sistem tanpa awak secara besar-besaran.
Dalam visi masa depan perang udara, jet tempur tidak lagi bertempur sendirian. Mereka akan disokong oleh kawanan drone otonom yang dikendalikan dari jarak jauh, dilengkapi sistem kecerdasan buatan untuk pengambilan keputusan cepat di medan laga. Persiapan ini juga melibatkan jet tempur generasi kelima lainnya seperti F-35 dan bomber siluman B-21 Raider, menandai perubahan besar dalam doktrin perang udara yang akan datang.