LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [RADEN MAS TUMENGGUNG ARIO SOERJO (GOVERNOR SURYO)]

by -18 Views

Menurut Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I], Bung Tomo sering diakui sebagai pemimpin revolusioner yang bisa menggerakkan dan membangkitkan semangat orang, namun Gubernur Suryo juga adalah seorang orator berbakat. Pidatonya menandai dimulainya perang sejarah untuk Surabaya.

Gubernur Suryo merupakan bagian penting dari peristiwa pada 10 November 1945. Ia adalah tokoh di balik keputusan untuk memulai Pertempuran Surabaya, salah satu peristiwa sejarah penting yang pernah dilakukan oleh rakyat Indonesia. Pertempuran besar antara arek-arek Suroboyo, terdiri dari para pemuda dan pelajar pesantren Surabaya, dan Tentara Inggris. Ini adalah peristiwa pahlawan yang sangat heroik dalam pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan yang begitu berat yang diraih oleh Republik Indonesia.

Pertempuran besar melawan pemenang Perang Dunia II tersebut berlangsung selama tiga minggu, menelan korban lebih dari 16.000 pejuang Indonesia dan mengungsikan 200.000 warga sipil. Pertempuran masif dan ganas tersebut diperingati setiap tanggal 10 November di Indonesia sebagai Hari Pahlawan.

Pertempuran Surabaya dimulai dengan kematian Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby, yang tewas dalam baku tembak antara pejuang Indonesia dan pasukan Inggris pada 30 Oktober 1945. Ini adalah puncak dari pertempuran hampir satu minggu antara Brigade yang di komandoi Mallaby dan pasukan Indonesia di Surabaya. Mallaby membuat kesalahan besar dengan membagi brigade-nya menjadi unit level peleton yang menduduki banyak pos pos terpencil di Surabaya. Saat itu, unit-unit bersenjata Indonesia berjumlah puluhan ribu setelah merebut ribuan senjata dari Jepang. Ada yang merupakan pasukan resmi. Ada pula yang merupakan relawan. Dan ada juga yang merupakan kelompok bersenjata. Oleh karena itu, peleton-peleton tersebut tidak bisa saling membela karena terlalu renggang di kota sebesar Surabaya. Brigade itu dihancurkan sebagai kekuatan yang terorganisir. Tindakan ini berujung pada pembunuhan Mallaby. Tentu saja, hal itu mempermalukan Inggris. Mereka marah. Mereka menuntut agar para pelaku pembunuhan ditangkap, dan unit-unit Indonesia menyerahterimakan senjata mereka.

Inggris marah atas kematian jenderal mereka, menuntut agar pelakunya ditangkap.

Serangkaian pertemuan yang dilakukan oleh Komandan Divisi ke-5 Tentara Inggris, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, dengan Gubernur Jawa Timur, berakhir dengan kebuntuan.

Akhirnya, setelah salat Jumat pada 9 November 1949, Tentara Inggris mengeluarkan ultimatum dengan menjatuhkan pamflet dari udara agar semua warga Surabaya membacanya. Ultimatum menuntut agar semua pemimpin perlawanan Indonesia menyerah dan bahwa semua warga Indonesia yang tidak berizin untuk membawa senjata menyerahkan senjata mereka. Semua wanita dan anak-anak Indonesia di perintahkan untuk meninggalkan kota menuju Mojokerto dan Sidoarjo.

Deadline yang diberikan untuk ultimatum tersebut adalah pukul 18.00. Apabila perintah tidak dipatuhi, Tentara Inggris bersumpah akan menghancurkan seluruh kota. Tentu saja, ultimatum itu menciptakan kepanikan di kalangan warga Surabaya. Namun, kelompok pemuda militan yang dipimpin oleh Bung Tomo, yang awalnya menolak tuntutan Inggris, menyatakan bahwa mereka siap tempur.

Gubernur Suryo meminta warga Surabaya tetap tenang karena mereka harus menunggu perintah dari Jakarta. Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Bung Karno kemudian menyerahkan sepenuhnya keputusan tentang bagaimana merespons sepenuhnya kepada warga Surabaya.

Selama saat yang kritis itu, Gubernur Suryo harus membuat keputusan penting yang akan menentukan masa depan Surabaya dan, secara luas, Indonesia. Keputusannya akan menunjukkan kepada dunia apakah Indonesia adalah bangsa besar yang bisa bertahan dari serangan militer besar oleh pasukan asing. Bangsa ksatria ini tidak takut kepada siapapun, termasuk kekuatan besar seperti Britania Raya, untuk mempertahankan kedaulatannya. Sebaliknya, jika ia memutuskan untuk menerima ultimatum, Indonesia akan kembali menjadi bangsa yang ditaklukkan, bangsa yang terhina, bangsa yang merunduk di bawah ultimatum yang dikeluarkan oleh pasukan asing, dan menyerah sebelum pertempuran dimulai. Keputusan besar ini adalah hak Suryo seorang diri untuk membuatnya.

Saat mendekati batas waktu yang ditetapkan oleh Inggris, Gubernur Suryo menyampaikan keputusan bersejarah kepada warga Surabaya lewat radio. Berbeda dengan Bung Tomo, pidatonya tidak berapi-api. Namun, pidato singkat yang disampaikan dengan tenang cukup kuat untuk memobilisasi semua orang yang mendengarkannya untuk mengangkat senjata untuk membela Surabaya.

Meskipun Bung Tomo telah diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dikenal dengan oratonya yang menggugah, Governor Suryo dengan nada tenang namun tegas juga memiliki kekuatan yang sama. Pidato Gubernur Suryo menjadi ‘teriakan pertempuran’ pertama yang menandai dimulainya pertempuran bersejarah tersebut. Hanya bisa dibayangkan getaran emosinya ketika ia berbicara kepada warga Surabaya.

Lebih sulit lagi untuk memahami, mengingat Gubernur Suryo bahkan bukan seorang prajurit. Namun, ia sepenuhnya menyadari perannya sebagai pemimpin: Seorang pemimpin harus berani membuat keputusan sulit dan bertindak dengan tegas dalam mempertahankan kehormatan tanah airnya. Ia mewakili rakyatnya. Ia adalah harapan rakyatnya. Inilah kualitas kepemimpinan besar yang telah ditunjukkan kepada generasi muda.

Kita lebih memilih dihancurkan daripada dikolonisasi lagi!

Saudara-saudara,

Para pemimpin kita di Jakarta telah berupaya sekuat tenaga untuk mengelola perkembangan di Surabaya. Namun, sayangnya, semuanya sia-sia. Sekarang, tugas kita, rakyat Surabaya, untuk menentukan langkah selanjutnya. Semua upaya kita untuk bernegosiasi telah gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, kita harus tetap kukuh dan menegaskan tekad kita untuk menghadapi segala kemungkinan.

Berpuluh-puluh kali, kita telah menyatakan posisi kita: Kita lebih memilih dihancurkan daripada dijajah kembali. Sekarang, di hadapan ultimatum Inggris, kita akan mempertahankan posisi tersebut. Kita akan tetap kukuh menolak ultimatum.

Dalam menghadapi segala kemungkinan besok, mari kita semua mempertahankan persatuan antara pemerintah, rakyat, Tentara Keamanan Rakyat (TKR), kepolisian, pemuda, dan organisasi perlawanan di tingkat bawah. Marilah kita berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa agar diberikan kekuatan dan Berkat serta Petunjuk-Nya dalam pertempuran ini.

Selamat berjuang!

Gubernur Jawa Timur, R. M. T. Ario Soerjo

Source link