LEADERSHIP QUALITIES OF MY SENIORS (PART 2)

by -39 Views

Jenderal TNI (Purn.) HIMAWAN SOETANTO Salah satu nilai yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan anak buahnya. Seorang komandan harus bersama anak buahnya mulai dari bangun pagi hingga mereka tidur. Seorang komandan harus memeriksa kondisi anak buahnya, mulai dari dapur, kamar mandi hingga kualitas pakaian dalam mereka. Berkat Pak Himawan Soetanto, saya telah mengembangkan kebiasaan memeriksa detail dapur dan perlengkapan anak buah saya. Suatu ketika, saya menemukan bahwa pakaian dalam putih para prajurit telah berubah menjadi coklat. Saya juga menemukan bahwa dapur telah menjadi sumber praktik korup. Bayangkan saja, satu kilogram daging dialokasikan untuk 16 orang. Di TNI, hal ini dikenal sebagai ‘daging cukur’ karena dagingnya sehalus pisau cukur. Sungguh tragis. Itulah beberapa hal yang saya pelajari dari kepemimpinan praktis Pak Himawan Soetanto.

Pertama kali saya mengenal Pak Himawan Soetanto adalah ketika saya bergabung dengan AKABRI pada tahun 1970. Saat itu, beliau menjabat sebagai Wakil Gubernur AKABRI yang bertanggung jawab atas pendidikan dan latihan. Beliau sangat terpelajar. Beliau fasih berbahasa Inggris dan Belanda. Beliau bahkan bisa sedikit berbahasa Jepang, yang dia pelajari selama pendudukan Jepang di Indonesia. Beliau juga suka membaca buku sejarah. Sekali lagi, tokoh-tokoh besar yang saya kenal adalah pembaca buku yang rajin. Seorang pemimpin adalah seorang pembaca. ‘Pemimpin hebat harus membaca dengan tekun,’ seperti pepatah terkenal yang mengatakan. Tempat tinggalnya penuh dengan buku. Setiap kali saya bertemu dengannya, dia selalu mendiskusikan buku-buku dengan saya. Dia kadang-kadang bertanya apakah saya sudah membaca buku karya B. H. Liddell Hart, seorang sejarawan strategi militer Inggris, atau Sun Tzu, seorang ahli strategi militer Tiongkok, dan buku-buku lainnya. Hal lain yang membuat saya terkesan adalah penampilannya yang rapi. Wajahnya selalu penuh senyuman. Dia selalu humoris, tenang namun percaya diri, dan dekat dengan anak buahnya. Pengalaman pertempurannya yang panjang sangat terlihat dalam tutur katanya. Ini berbeda dengan beberapa yang tidak memiliki pengalaman pertempuran yang banyak. Mereka cenderung dingin dan jauh dengan anak buahnya. Mereka selalu ingin mematuhi aturan. Istilah kami dalam TNI untuk tipe figur seperti ini adalah berpikiran PUD atau perwira PUD. PUD adalah singkatan dari Peraturan Urusan Dalam. Sementara itu, pemimpin TNI yang terbiasa hadir di tengah-tengah anak buahnya di lapangan biasanya lebih santai dan fleksibel. PUD disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Selain itu, saya ingat sebuah artikel di PUD yang mengatakan bahwa komandan unit dapat menyesuaikan PUD dengan kondisi masing-masing unit. Ini berarti bahwa seorang komandan memiliki wewenang besar untuk menyesuaikan peraturan berdasarkan kebutuhan dan situasi. Oleh karena itu, salah satu nilai yang saya dapat dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan anak buahnya. Komandan harus bersama mereka dari matahari terbit hingga matahari terbenam. Komandan harus memeriksa kondisi anak buahnya, mulai dari dapur, kamar mandi, hingga pakaian dalam mereka. Belajar dari Pak Himawan Soetanto, saya memiliki kebiasaan memeriksa detail dapur dan perlengkapan. Suatu ketika, saya menemukan bahwa pakaian dalam prajurit saya berwarna coklat, bukan lagi putih. Saya juga mengetahui bahwa dapur telah menjadi sumber banyak praktik korup. Satu kilogram daging akan dibagi di antara 16 orang! Hal ini menjadi terkenal di TNI sebagai ‘daging cukur’, daging sehalus pisau cukur. Tragis. Itulah beberapa hal mengenai kepemimpinan praktis yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto.

Letnan Jenderal Himawan Soetanto memiliki karir yang gemilang. Beliau menjadi inspirasi bagi banyak orang di militer. Saya sangat dekat dengannya. Saya tetap dekat dengannya bahkan setelah dia pensiun. Beliau adalah salah satu mentorku. Beberapa hari sebelum kematiannya, saya mengunjunginya di rumah sakit. Anak-anaknya mengatakan bahwa, selain anggota keluarga dekat, beliau juga ingin melihat saya. ‘Di mana sang jenderal tempur?’ Anak-anaknya bingung siapa yang dimaksud dengan “jenderal tempur”. Beberapa dari mereka mencoba untuk menjelaskan apakah dia mengacu pada Prabowo. Dia mengangguk. Saya tersentuh mendengar ceritanya. Oleh karena itu, ketika saya berkunjung kepadanya, saya berdiri tegak dan memberi hormat padanya. Pada saat itu, saya sudah pensiun, dan saya datang mengenakan pakaian sipil. Karena kami sering berbicara dalam bahasa Inggris, saya mengatakan padanya dalam bahasa Inggris, ‘Anda adalah jenderal sejati, Pak!’ Beliau menitikkan air mata. Pada saat itu, dia sudah tidak bisa berbicara lagi. Itu adalah kenangan saya tentang Pak Himawan Soetanto. Ini adalah kehormatan besar bahwa seorang jenderal yang saya kagumi masih berharap untuk melihat saya dalam momen terakhirnya. Jenderal TNI (Purn.) SARWO EDHIE WIBOWO Sarwo Edhie adalah sosok karismatik. Beliau tampan, menarik, selalu berpakaian rapi. Dia dikenal sebagai sosok yang memimpin dari garis depan. Bahkan sebagai komandan Pasukan Khusus (RPKAD), beliau terlibat di lapangan. Beliau adalah idola para siswa, para pemuda, dan idola kami, para perwira muda dan kadet. Sebagai mentorku di AKABRI, beliau sering membagikan pengalamannya. Saat itu, beliau menanamkan dalam kami semangat untuk tidak menyerah, semangat patriotisme. Beliau juga sempat waktu untuk menulis buku berjudul Hidupku Untuk Bangsa dan Negara. Nilai itu dia tanamkan dalam kami sebagai Kadet AKABRI. Patriotisme melalui cinta tanah air dan bangga pada warisan nenek moyang kita. Itulah yang Pak Sarwo tanamkan dalam kami.

Pertama kali saya bertemu dengan Jenderal Sarwo Edhie adalah ketika saya masih menjadi kadet. Beliau belum menjabat sebagai Gubernur AKABRI (sekarang AKMIL), tapi beliau sangat terkenal. Pak Sarwo Edhie juga adalah sahabat dekat orang tua saya. Sebelum saya resmi menjadi kadetnya, saya sudah mendengar banyak cerita tentang Pak Sarwo dari orang tua saya, bagaimana Pak Sarwo memimpin Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS) pada saat-saat krusial pada Oktober 1965 selama Gerakan 30 September/PKI. Beliau adalah sosok karismatik. Beliau tampan, menarik, selalu berpakaian rapi. Beliau juga dikenal sebagai komandan yang memimpin operasi dari depan. Sebagai komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS), beliau masih terlibat di lapangan, sehingga beliau juga menjadi idola para kadet muda. Sebagai mentorku di AKABRI, beliau sering menceritakan pengalamannya. Saat itu, beliau menanamkan dalam kami semangat ketekunan dan patriotisme. Beliau juga menulis buku berjudul ‘Hidupku Untuk Bangsa dan Negara’. Nilai itu dilekatkan dalam diri kami sebagai kadet AKABRI. Semangat patriotisme melalui cinta tanah air dan bangga pada warisan nenek moyang kami, itulah semangat yang Pak Sarwo Edhie tanamkan dalam kami. Setelah dia pensiun dari dinas aktif, beliau singkatnya menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan. Untuk periode singkat, beliau juga menjabat sebagai Ketua Badan Pengawasan dan Pembinaan Nilai-Nilai Pancasila (BP7). Saya ingat bagaimana beliau tetap menjaga sikapnya sebagai seorang prajurit. Sebagai seorang prajurit yang dikenal karena kejujuran dan integritasnya, beliau tidak meninggalkan banyak kekayaan ketika beliau meninggal. Bersamaan dengan itu, sepanjang hidupnya, beliau melamar ketiga putrinya kepada lulusan AKMIL.

Putri tertua pada Kolonel Infanteri Hadi Utomo, lulusan tahun 1970; putri kedua pada Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono, lulusan tahun 1973, yang kemudian menjadi Presiden ke-6 Republik Indonesia; dan putri bungsu pada Letnan Jenderal TNI Erwin Sudjono, yang kemudian menjadi Panglima KOSTRAD. Saya juga mengenal ketiga perwira ini dengan baik. Jenderal Besar TNI (Purn.) ABDUL HARIS NASUTION Saya merasa beruntung memiliki kesempatan luar biasa yang tidak banyak orang dapat alaminya di negeri ini. Yakni berbicara tatap muka dengan salah satu tokoh kunci generasi ’45, tokoh kunci dalam perjuangan kemerdekaan kita: Pak Nas. Saya merasa seperti menjadi murid dari seorang pelaku sejarah. Beliau sering membagikan pengalaman, pendapat, strategi perang gerilya, pengalaman melawan Belanda, dan masih banyak lagi dengan saya. Beliau juga sangat lihai dalam sejarah dan berbagai bahasa, seperti halnya tokoh-tokoh generasi ’45 lainnya.

Source link