LEADERSHIP QUALITIES OF MY SENIORS (PART I)

by -89 Views

Ada pepatah yang mengatakan bahwa seorang guru sejati seharusnya bangga melihat muridnya melampaui dirinya. Seorang guru sejati akan memastikan bahwa murid-muridnya dan anak buahnya lebih sukses darinya. Seorang guru sejati tidak akan ragu untuk membimbing murid-muridnya untuk mencapai potensi penuh dan mencapai pangkat tertinggi demi kepentingan bangsa dan negara.

LIEUTENANT GENERAL TNI (PURN.) KEMAL IDRIS Saya berusia 17 tahun ketika saya kembali ke Indonesia dari Eropa. Saat itu, Pak Kemal Idris sudah menjadi sosok TNI yang sangat terkenal. Pada saat itu, dia dikenal sebagai salah satu tokoh kunci rezim Orde Baru di awal pemerintahan Presiden Suharto. Pak Kemal Idris juga merupakan teman dari paman saya, Subianto, yang meninggal dalam Pertempuran Lengkong. Ketika saya bertemu dengannya, Pak Kemal Idris berkata kepada saya, ‘Saya adalah sahabat terbaik dari pamanmu. Pamanmu adalah seorang pria yang sangat berani. Jika pamanmu masih hidup hari ini, saya yakin dia akan menjadi Pangkostrad. Kamu harus mengikuti jejak pamanmu, Subianto. Dia adalah seorang pahlawan.’ Saya ingat kata-katanya. Setelah saya lebih memahami sejarah hidup Pak Kemal Idris, saya mengerti bahwa dia adalah orang yang sangat patriotik, berani, lurus, dan terbuka. Batalyon Kemal Idris merupakan batalyon TNI pertama yang memasuki ibu kota setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia.

Ketika Pak Kemal Idris berpangkat Mayor, batalyonnya terkenal sekali. Saat itu, menjadi tradisi untuk memberi nama batalyon TNI sesuai dengan komandan yang terkemuka. Maka ada Batalyon Kemal Idris, Batalyon Ahmad Yani, Batalyon Poniman, dan lain-lain. Pada 17 Oktober 1952, Batalyon Kemal Idris terlibat dalam pengepungan Istana. Pak Kemal Idris adalah seorang pria yang sangat berani, sangat pro-rakyat, dan sangat nasionalis. Dia sangat membenci korupsi sehingga dia bahkan seringkali mengkritik secara terbuka atasannya, sehingga beberapa senior sering memandangnya sebagai “nakal”. Bahkan saya pernah mendengar Pak Harto sekali menyebut nama Pak Kemal Idris dengan senyum sambil tertawa, ‘Ya, Kemal, ya … Kemal yang keras kepala.’ Namun atasan-atasannya selalu memberi pengampunan dan selalu melindungi dia karena dia adalah seorang pria yang sangat berani dan mampu memimpin pasukannya melawan Belanda. Kemal Idris bertempur melawan pemberontak selama 1950-an dan 1965. Setelah pemberontakan G30S/PKI 1965, dia menjadi sahabat terpercaya Pak Harto di Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) sebagai Wakil Kepala Staf. Setelah Pak Harto dipromosikan, Pak Kemal Idris menggantikan Pak Harto sebagai Pangkostrad. Kualitas Pak Kemal Idris yang saya ingat dan kagumi adalah sikap terbuka, ramah, dan humorisnya. Dia selalu jujur dan selalu memihak kepada kaum tertindas. Namun Pak Kemal Idris juga memiliki kelemahan. Dia adalah orang yang emosional dan seringkali membuat keputusan dan kesimpulan tanpa benar-benar memahami situasi dengan baik. Terkadang, sifat ini membuatnya masuk dalam kesulitan. Selama hidupnya, dia sering memberi saya nasihat. Setiap kali saya bertemu dengannya, dia selalu berbagi pengalaman dan kebijaksanaan. Saya mendapatkan banyak wawasan kepemimpinan dari dia. Beberapa jam sebelum kematiannya, ADC-nya memberi tahu saya bahwa dia sangat sakit, dan saya mengunjunginya di RS Abdi Waluyo di Menteng, Jakarta. Di tempat tidurnya yang terakhir, dia berbisik kepada saya, ‘Prabowo, teruslah berjuang.’ Kata-katanya terakhir untuk saya, ‘Jaga republik ini, terima kasih.’ Saya memberinya salam, dan dalam sekejap, air mata mulai mengalir di wajah saya. Ini adalah momen yang sangat emosional. Pada saat itu, saya telah diberhentikan sebagai Pangkostrad. Saya bisa merasakan getaran jiwanya saat dia mengalami momen terakhir hidupnya.

LIEUTENANT GENERAL TNI (PURN.) HARTONO RAKSA DHARSONO Selama Orde Baru, Pak Ton adalah salah satu sahabat terdekat Pak Harto. Dia berani menegur Pak Harto, mengkritik, dan mendorongnya untuk mendemokratisasi Indonesia. Dia menentang rezim otoriter dan berani mengkritik atasannya dan rekannya. Dia sangat populer di kalangan rakyat, mahasiswa, dan prajurit. Ia sering kali mengenakan beret Kujang. Ia muncul sebagai sosok pahlawan idol. Dia diidolakan oleh pemuda Jawa Barat dan gerakan pemuda Jakarta.

LIEUTENANT GENERAL TNI (PURN.) H. R. DHARSONO yang akrab dipanggil dengan nama Pak Ton, adalah seorang tokoh yang sangat dekat dengan keluarga saya, terutama dengan orang tua saya. Pak Ton juga adalah teman dari paman saya, Pak Subianto, dan ayah saya, Pak Soemitro. Dia pernah menjabat sebagai Atase Pertahanan di London. Dia juga memiliki karier gemilang di TNI. Dia merupakan sosok yang menonjol di Kodam Siliwangi, yang saat itu dikenal sebagai Divisi Siliwangi. Dalam operasi untuk menekan pemberontakan PRRI/Permesta dan DI/TII, Hartono Dharsono mencuri perhatian sebagai komandan batalyon. Saat pemberontakan G30S/PKI terjadi, dia menjabat sebagai Kepala Staf Kodam Siliwangi. Dia akhirnya menggantikan Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, kemudian menjadi Komandan Kodam Siliwangi dari tahun 1966 hingga 1969. Saat itu, ia berhasil memperkuat persatuan antara TNI dan rakyat. Dia sangat populer di kalangan rakyat, mahasiswa, dan prajurit. Ia sering mengenakan beret Kujang. Ia diidolakan sebagai sosok pahlawan, terutama oleh pemuda Jawa Barat dan gerakan pemuda ibu kota Jakarta. Selama masa Orde Baru, dia adalah salah satu pendukung terkuat Pak Harto. Dia berani menegur Pak Harto, mengkritik Pak Harto, dan mendorong Pak Harto untuk mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis. Dia menentang rezim otoriter dan berani mengkritik atasannya dan rekannya. Akibatnya, dia dituduh mendukung tindakan teror dan singkatnya dipenjara. Pada saat itu, saya masih seorang perwira muda. Saya khawatir karena saya tahu dia difitnah mungkin oleh kelompok di dalam TNI yang tidak menyukainya. Saat dia dipenjara, saya masih Letnan Dua. Saat saya berada dalam kursus pelatihan dasar spesifik cabang di Bandung, saya mengunjunginya dan bertemu dengan keluarganya. Kemudian saat saya menjadi Kapten, saya menjadi Wakil Komandan Detasemen 81. Saat itu, saya bertanggung jawab membangun markas Detasemen 81 di Jakarta dan memilih kontraktor dan subkontraktor. Saya mendengar bahwa beberapa individu muda Bandung mendirikan perusahaan furnitur dan mendaftar sebagai subkontraktor interior untuk markas tersebut. Saya tidak ragu untuk menunjuk perusahaan tersebut. Kemudian saya dimarahi oleh salah satu perwira senior saya, yang berkata, ‘Di antara mahasiswa ITB yang mendirikan perusahaan…’.

Source link