BRIGADIER GENERAL TNI POSTHUMOUS I GUSTI NGURAH RAI

by -71 Views

Sikap dan tindakan Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai dan para pasukannya dalam pertempuran Puputan Margarana tahun 1946 telah menetapkan kriteria kepemimpinan teladan bagi generasi TNI selanjutnya: Memimpin dengan contoh, memimpin dari depan, dan membuktikan patriotisme dengan mengorbankan tubuh dan jiwa. I Gusti Ngurah Rai memiliki semangat pejuang sejati dan lebih memilih mati daripada menyerah kepada musuh. Perang habis-habisan (tradisi puputan) yang ia nyalakan membangkitkan semangat berjuang pasukannya dan melawan Belanda hingga titik kelelahan. I Gusti Ngurah Rai bertempur di medan sampai napas terakhirnya.

Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, I Gusti Ngurah Rai datang ke Yogyakarta atas inisiatifnya untuk bertemu dengan Jenderal Sudirman. Ia meminta mandat kepada Jenderal Sudirman untuk membentuk Tentara Republik Indonesia (TRI) di Bali dan Nusa Tenggara, yang disebut Sunda Kecil.

Ia kemudian kembali dan merekrut pasukan serta mulai melakukan serangan terhadap pos-pos Belanda yang dipasang pada akhir Perang Dunia II untuk merebut kembali Bali. Sejak pendudukan Jepang pada tahun 1942, I Gusti Ngurah Rai telah mengumpulkan pemuda-pemuda Bali yang bersatu dalam Gerakan Anti-Fasis (GAF). Pada bulan September 1946, Belanda melakukan serangan. Dan pada 19 November 1946, Belanda berhasil menyerang dan menyergap pasukan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai di Desa Margarana dekat Ubud.

Belanda telah mengirim utusan untuk meminta I Gusti Ngurah Rai menyerah. Jika ia menyerah, ia dan pasukannya akan diampuni. Tawaran itu datang dari Kapten Infantri Belanda JBT Konig, salah satu perwira Batalyon Infantri KNIL Gajah Merah, pasukan Belanda yang diperintahkan untuk menduduki Bali. JBT Konig pernah dekat dengan I Gusti Ngurah Rai.

Konig adalah salah satu perwira KNIL yang mengawasi Pendidikan Perwira Prajoda di Gianyar, Bali sebelum Jepang datang. I Gusti Ngurah Rai telah bergabung dengan Prajoda sebelum pecahnya Perang Pasifik.

Pada suatu waktu, I Gusti Ngurah Rai bahkan menyelamatkan Konig dan seorang perwira KNIL lainnya dengan membantu mereka melarikan diri ke Jawa ketika Jepang mulai menyerbu. Namun, I Gusti Ngurah Rai menolak tawaran menyerah kepada Belanda, meskipun tawaran itu datang dari Konig, mantan atasannya. Untuk menjaga moral pasukan Indonesia di bawah komandonya, I Gusti Ngurah Rai tidak menjawab surat Konig. Jawaban I Gusti Ngurah Rai dikirim langsung kepada atasan Konig, Letnan Kolonel Belanda Termeulen, pada 18 Mei 1946.

“Pemerdekaan. Kami telah menerima tawaran Anda. Kami dengan ini mengajukan jawaban sebagai berikut: Keamanan Bali adalah tanggung jawab kami. Sejak kedatangan pasukan Anda, pulau itu menjadi tidak aman. Keamanan telah terganggu karena Anda mengkhianati keinginan rakyat yang telah menyatakan kemerdekaannya. Mengenai tawaran untuk bernegosiasi, kami serahkan kepada kebijaksanaan para pemimpin di Jawa. Bali bukan tempat untuk pembicaraan diplomatik. Dan saya tidak dalam posisi untuk berkompromi.Untuk kepentingan orang Bali, saya hanya menginginkan hilangnya Belanda dari pulau Bali atau jika tidak saya bisa menjanjikan bahwa kami akan terus berjuang sampai tujuan kami tercapai. Jika Anda memilih tinggal di Bali, pulau Bali akan menjadi pertempuran antara tentara Anda dan kami.”

Demikianlah jawaban dari I Gusti Ngurah Rai. Demikianlah ketegasan I Gusti Ngurah Rai dalam menghadapi kolonial Belanda. Suratnya mencerminkan jiwa patriotiknya dan ketidakinginan untuk berkompromi dalam pengabdiannya untuk melawan penjajah. Ia menjawab tawaran menyerah dari Belanda dengan teriakan “Puputan, Puputan”, yang berarti habis-habisan. Oleh karena itu, perang ini disebut pertempuran Puputan di Margarana, atau “perang habis-habisan”. Pada 19 November 1946, di Desa Margarana dekat Ubud, I Gusti Ngurah Rai memimpin pasukan TNI (saat itu dikenal sebagai TRI) dalam pertempuran sengit melawan pasukan Belanda. Selama beberapa hari, Belanda terus melakukan pengepungan terhadap desa tersebut.

Meskipun menghadapi pasukan Belanda yang personel dan persenjataannya jauh lebih unggul bahkan didukung oleh pembom taktis, I Gusti Ngurah Rai, Komandan Resimen TRI Sunda Kecil (setara dengan pangkat Pangdam saat ini), dan pasukannya terus bertempur tanpa henti.

Pertempuran sengit dimulai di pagi hari hingga akhirnya, tidak ada lagi tembakan dari pihak Indonesia di sore hari. Semua pasukan TRI dalam pertempuran telah tewas, termasuk Komandan Resimen TRI Sunda Kecil, I Gusti Ngurah Rai, dan Kepala Staf Resimen TRI Sunda Kecil, I Gusti Putu Wisnu.

Sikap dan tindakan I Gusti Ngurah Rai serta pasukannya telah memberikan tradisi kepemimpinan militer yang luar biasa dan inspiratif bagi generasi TNI selanjutnya. I Gusti Ngurah Rai memimpin dengan contoh, memimpin dari depan, dan membuktikan patriotisme dengan mengorbankan tubuh dan jiwa.

Source link