Solusi Paradoks Indonesia: Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka (Mewujudkan Ekonomi Konstitusi)

by -146 Views

Mewujudkan Ekonomi Konstitusi

Jika Anda pernah belajar ilmu ekonomi, Anda pasti tahu bahwa ada banyak aliran ekonomi di dunia ini. Ada aliran ekonomi yang disebut neoklasikal, pasar bebas, dan neoliberal. Ketiga aliran ini sering dianggap sebagai aliran ekonomi Adam Smith. Kemudian ada aliran ekonomi sosialis, atau aliran ekonomi Karl Marx. Dalam sejarah, ada yang mengatakan, “Indonesia harus memilih A” dan ada yang mengatakan, “sebaiknya kita pakai B”. Pertentangan ini masih ada sampai sekarang. Namun, saya berpendapat, “Mengapa kita harus memilih?” Kita dapat mengambil yang terbaik dari kapitalisme, dan yang terbaik dari sosialisme. Gabungan yang terbaik dari keduanya inilah yang disebut oleh Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, dan oleh ayah saya Prof. Sumitro, sebagai ekonomi kerakyatan, atau ekonomi Pancasila, yang bentuknya tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dalam pasal 33. Kita juga dapat menyebutnya sebagai ‘ekonomi konstitusi’.

Setelah tahun 1998, Kita Keliru

Setelah tahun 1998, saya merasa bahwa sebagai bangsa, kita keliru. Kita melupakan jati diri kita. Kita meninggalkan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, kita meninggalkan ekonomi Pancasila. Inilah mengapa selama belasan tahun ini, perjuangan saya adalah untuk menggugah, membangkitkan kesadaran, dan mengingatkan ajaran-ajaran Bung Karno: berdiri di atas kaki kita sendiri. Hal ini menurut saya sangat mendasar, namun banyak yang melupakan hal tersebut. Kita terlalu percaya pada globalisasi, pada anggapan bahwa tidak ada lagi batasan, bahwa dunia saat ini adalah dunia tanpa batas. Namun coba Anda pergi ke Amerika. Anda tidak dapat masuk tanpa visa. Kadang-kadang orang Indonesia tidak diberikan visa. Hal ini menandakan bahwa masih ada batasan. Belakangan ini, banyak orang yang ingin pergi ke Australia melalui laut kita, namun kapal-kapal perang Australia menghalangi. Jadi, meskipun kita semakin banyak berdagang, batasan tetap ada. Maka dari itu, kita harus memiliki kekuatan sendiri. Ingatlah, nasionalisme bukanlah hal yang buruk. Nasionalisme adalah cinta terhadap bangsa sendiri. Jika bukan kita yang mencintai bangsa kita, siapa lagi yang akan melakukannya? Apakah kita harus meminta kasih sayang dari bangsa lain? Nasionalisme bukanlah sesuatu yang hina. Setiap bangsa membela kepentingan nasionalnya. Mengapa bangsa Indonesia tidak boleh membela kepentingan kita? Mengapa petani kita tidak boleh dibantu oleh negara? Contoh, dalam bidang pertanian, petani Amerika dibantu oleh negaranya. Petani Australia dibantu oleh negaranya. Pemerintah Vietnam membantu petaninya. Begitu juga pemerintah Thailand. Jika kita mengatakan, “kita juga ingin, kepentingan nasional kita harus dijaga,” terkadang kita dianggap sebagai anti asing. Namun sebenarnya, kita tidak boleh anti asing. Dunia sudah semakin sempit, dan tradisi bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbuka. Kita bersahabat, namun kita harus kuat dan mandiri. Kemandirian dan kemampuan suatu negara dalam memproduksi berbagai barang di dalam negeri sekarang dapat dinilai dengan indeks yang dinamakan indeks kompleksitas ekonomi. Professor Ricardo Hausmann dari Harvard University yang juga mantan Menteri Perencanaan Venezuela menemukan hubungan yang sangat kuat antara kesejahteraan suatu negara dengan kemandirian dan kemampuan negara tersebut dalam memproduksi berbagai barang di dalam negeri. Oleh karena itu, resep IMF pada tahun 1998 yang menyebabkan banyak industri kita mati adalah sangat keliru dan harus ditinggalkan. Kita harus segera menciptakan apa yang bisa kita buat sendiri di dalam negeri. Kita harus memiliki industri kapal, industri mobil, industri pangan, industri tekstil, industri senjata, dan industri-industri lain yang akan memperkuat ekonomi kita dan meningkatkan nilai tukar rupiah.

Tujuan Kita: Ekonomi Konstitusi, Bukan Sosialisme

Sosialisme murni, meskipun terlihat bagus dalam teori, sebenarnya tidak dapat dijalankan. Dalam sosialisme murni, prinsip kesetaraan yang tidak mungkin dijalankan. Jika kesetaraan itu dijalankan, maka orang tidak akan mau bekerja keras. Dalam sosialisme murni, orang yang bekerja keras dan yang tidak bekerja keras akan mendapatkan gaji yang sama. Orang pintar dan orang bodoh akan memiliki gaji yang sama. Orang yang rajin belajar dan yang malas belajar akan mendapatkan gaji yang sama. Bahkan dalam sosialisme yang ideal, uang tidak boleh ada. Bagaimana bisa? Itu hanyalah impian. Sulit untuk dijalankan, dan sudah terbukti bahwa negara-negara yang mencoba menerapkan sosialisme murni gagal di mana-mana. Oleh karena itu, pendiri bangsa kita, Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir benar. Yang tepat adalah ekonomi campuran. Ayah saya selalu menceritakan hal ini di meja makan. Istilah yang dipakai Prof. Sumitro adalah ekonomi campuran. Kita harus mengambil yang terbaik dari kapitalisme dan yang terbaik dari sosialisme. Jika kita melihat sejarah Indonesia, kita pernah membuat keputusan untuk menggunakan sistem ekonomi Pancasila. Ekonomi kita harus didasarkan pada semangat kekeluargaan. Intinya adalah, yang kuat harus membantu yang lemah. Dengan demikian, akan tercapai suatu keseimbangan. Tidak benar jika dalam ekonomi yang mengutamakan “yang kuat harus selalu menang, yang lemah biarlah tersingkir”. Paham kapitalisme murni seperti itu. Akibatnya, yang lemah akan menjadi semakin terpinggirkan. Dalam paham kapitalisme murni, mereka yang hidupnya sejahtera, mapan, dan aman hanya akan menjadi 1% dari total penduduk. Bahkan mungkin hanya 1% dari 1%. Hanya segelintir keluarga yang akan menjadi kaya. Hal ini terjadi di Indonesia saat ini, dan juga terjadi di Barat. Banyak orang di Barat yang mulai mempertanyakan hal ini. Dahulu, banyak yang percaya dengan trickle down effect. Namun kenyataannya, yang terjadi adalah trickle up effect. Mereka yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin. Oleh karena itu, yang harus kita jalankan adalah paham ekonomi jalan tengah. Kita harus mengadopsi paham ekonomi campuran, atau seperti yang dikenal dengan nama “ekonomi jalan ketiga” oleh mantan PM Inggris Tony Blair. Atau, seperti yang dianut pada tahun 1945, kembali ke ajaran Bung Karno, Bung Hatta, dengan paham “ekonomi kerakyatan”. Saat ini, jika kita pergi ke Vietnam, sering kita lihat mural di pinggir jalan yang bertuliskan “ekonomi untuk rakyat, bukan rakyat untuk ekonomi”. Ekonomi harus untuk kepentingan rakyat, bukan sebaliknya. Orientasi kita harus seperti itu. Jika saat ini kita menyadari bahwa kita telah melakukan kesalahan, kita harus berani untuk mengubah arah. Kita harus kembali ke panduan yang dibuat oleh Para Pendiri Bangsa kita, yakni Undang-undang Dasar 1945. Saya mengatakan hal ini karena dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 yang asli telah sangat jelas mengatur bahwa ekonomi kita tidak didasarkan pada pasar bebas, tetapi didasarkan pada semangat kekeluargaan. Pasal 33 ayat 2 juga mengatakan bahwa semua “cabang produksi yang penting harus dikuasai oleh negara” dan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Inilah landasan ekonomi kita. Inilah sistem yang seharusnya kita jalankan – yaitu ekonomi konstitusi. Jika kita konsisten dalam menerapkannya, seperti halnya Tiongkok yang konsisten menerapkan konstitusi mereka, maka aliran kekayaan alam kita yang selama ini mengalir keluar, pengurasan kekayaan nasional kita yang terjadi saat ini, bisa dihentikan.

Paham Ekonomi Konstitusi: Bebas Boleh, Tetapi Harus Waspada

Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, dalam menjalankan ekonomi kita harus mengambil jalan tengah, ekonomi campuran, ekonomi konstitusi. Kita tidak boleh menjadi kapitalis secara penuh, dan juga tidak boleh menjadi sosialis secara penuh. Kita harus mengambil yang terbaik dari kapitalisme. Kapitalisme mendorong inovasi, kewirausahaan, dan investasi. Namun kapitalisme harus seimbang dengan perlindungan terhadap rakyat banyak. Jika menerapkan kapitalisme murni, dimana segala hal di lepas ke pasar bebas, maka akibatnya adalah kondisi yang sedang kita alami saat ini. Dalam ekonomi bebas, tidak ada perlindungan, dan tidak ada harapan bagi orang miskin. Sosialisme, di sisi lain, memberikan jaminan perlindungan bagi orang-orang miskin. Pemerintah, pada kondisi-kondisi tertentu, harus melakukan intervensi. Setiap negara yang ingin mengurangi kemiskinan harus memiliki pemerintahan yang proaktif, yang berani turun tangan membantu mereka yang berada di bawah garis kemiskinan, karena mereka tidak memiliki daya untuk membantu diri sendiri. Jika tidak ada bantuan, mereka akan terus tidak memiliki kemampuan, pendidikan, keterampilan, bahkan gizi yang cukup. Namun, tidak cukup hanya memberikan uang, tanpa adanya sistem pendidikan, pelatihan, manajemen, dan pendampingan. Diperlukan strategi yang tepat. Inilah yang dimaksud dengan pembangunan negara. Jika kita masih dalam tahap membangun negara, pemerintah harus aktif membimbing rakyatnya. Paham Ekonomi Konstitusi: Pemerintah Harus Menjadi Pelopor

Dalam rangka membangun ekonomi, menyelamatkan negara, membangun kemakmuran, dan mengurangi kemiskinan, pemerintah harus menjadi pelopor. Pemerintah tidak boleh hanya berperan sebagai pengatur. Ini adalah perbedaan mendasar antara paham neoliberal dan paham ekonomi konstitusi. Paham neoliberal, atau neoklasikal, mungkin cocok untuk negara-negara Barat saat ini. Namun kita harus ingat, negara-negara Barat sudah jauh lebih maju daripada kita. Pendapatan per kapita di negara-negara maju sudah mencapai lebih dari USD 30.000, sementara kita masih di kisaran USD 4.000. Bagi pendukung paham neoliberal, seperti Milton Friedman, Von Hayek, Thatcher, mereka berpendapat bahwa “semakin sedikit campur tangan pemerintah, semakin baik”. Pemerintah harus berada di belakang, hanya sebagai pengatur. Pemerintah tidak boleh terlibat dalam proses ekonomi. Namun, jika kita mengikuti paham ini, siapa yang akan membangun infrastruktur seperti bendungan? Apakah sektor swasta akan mau melakukannya? Siapa yang akan membangun pelabuhan, lapangan terbang, terutama di daerah-daerah terpencil? Swasta mungkin tidak tertarik…

(Continued in next comment)

Source link