Fondasi Pembangunan #2: Demokrasi Oleh dan Untuk Rakyat Indonesia (Partai, Survei, Pemilih, dan Media Kadang Bisa Dibeli dan Dikuasai)

by -437 Views

Demokrasi kita dalam bahaya. Pertama, karena banyak pemimpin kita yang bisa dibeli. Kedua, karena banyak kelompok oligarki yang memiliki cukup banyak uang untuk membeli para pemimpin kita.

Ya, komprador-komprador dan kelompok oligarki yang ingin mengeruk keuntungan di Indonesia inilah yang mau, yang berkepentingan meng-hijack atau membajak proses demokrasi ini.

Jika saudara sudah lama jadi orang Indonesia, saudara tentu tahu ada uang ngarit, ada uang cendol, ada serangan fajar. Dengan kekuasaan dan uang mereka, mereka mau atur segalanya.

Kemudian yang lebih berbahaya, yang ingin saya ungkapkan adalah, manipulasi proses kotak suara yang adalah inti demokrasi kita. Ini yang bisa, dan pernah diselewengkan.

Negara Indonesia sangat kaya. Kita bukan negara miskin. Kita punya semua sumber alam yang dibutuhkan untuk menjadi negara sejahtera.

Tetapi, masalahnya, sistem kita dirusak oleh suatu elite, suatu oligarki yang serakah. Oligarki yang serakah ini mau menguasai semua sumber ekonomi Indonesia, dan tega membiarkan sebagian besar rakyat Indonesia hidup dengan tidak layak. Mereka menguasai politik kita, pemerintahan kita, dengan banyak cara.

Sekarang yang banyak terjadi adalah manipulasi dan rekayasa. Hasil dari banyak polling, banyak survei yang bisa mempengaruhi pandangan masyarakat bisa dibeli dan dimanipulasi. Saudara pun bisa pesan survei, “bikin saya nomor satu.” Kita tahu itu semua.

Yang cilaka adalah, adalah ketika ada lembaga survei bekerja untuk tiga orang. Ke si A, dia dapat duit, dia kasih nilai bagus. Si B, dikasih nilai bagus. Si C, juga dikasih nilai bagus. Kerja sekali, dapat tiga pemasukan. Sekarang banyak kreativitas. Kita bangsa yang kreatif.

Alhamdulillah, sekarang dengan media sosial, keberpihakan pada “konglomerat survei” kepada calon-calon tertentu dapat terlihat. Di Pemilu 2014 dan kembali lagi di Pemilu 2019 lalu, ada pelaku-pelaku survei yang secara terang-terangan di media sosial berkampanye untuk calon pasangan yang berhadapan dengan saya.

Namun kesadaran masyarakat akan praktek-praktek seperti ini masih rendah. Masih ada 24% masyarakat kita yang tidak punya akses ke Internet. Adalah tugas kita bersama untuk menyadarkan masyarakat agar jangan mudah percaya survei.

Di negara maju pun, survei bisa jadi alat penguasa. Misalkan, hampir semua lembaga survei di Amerika salah memprediksi siapa pemenang pemilu Presiden Amerika 2016. Hampir semua lembaga survei di Inggris Raya salah memprediksi Brexit di 2016. Menurut saya ini bukan kebetulan.

Wujud utama demokrasi kita adalah pemilihan, adalah kotak suara. Mereka yang dapat memberikan suara ke kotak suara adalah warga negara Indonesia yang sudah memiliki KTP. Setiap warga negara Indonesia memiliki satu suara di setiap pemilihan. Satu suara untuk Pemilu Legislatif tingkat Nasional dan tingkat Daerah. Satu suara untuk Pemilu Presiden. Satu suara untuk Pemilu Kepala Daerah.

Namun, di banyak pemilihan, pengalaman Partai GERINDRA yang ikut Pemilu sejak 2009, kita seringkali menemukan daftar pemilih tidak akurat. Kita menemukan banyak ‘hantu’ dalam daftar pemilih itu. Ada nama-nama yang berkali-kali disebut, di TPS yang berbeda-beda. Mereka bisa saja memilih beberapa kali, apalagi tinta yang digunakan untuk mencegah hal ini kadang bisa dihapus.

Ada juga nama-nama orang meninggal masih dalam DPT. Ini kita tahu semua. Di Pemilukada DKI 2012, jumlahnya belasan ribu. Di Pemilu 2014, jumlahnya jauh lebih besar. Bahkan ada lembaga riset yang mengatakan, potensinya sampai 20% jumlah pemilih. Di Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, masalah ini juga masih ada.

Saya tahu, Prabowo Subianto tidak disukai oleh banyak elite Indonesia, karena dia rodo rodo bonek yang sampaikan masalah ini. Namun, saya ingat, saya tidak tahu kapan akan dipanggil Tuhan. Karena itu, sekalian saja, saya merasa harus singkap kepada rakyat apa yang menjadi kegelisahan saya.

Kita lihat sekarang, banyak sendi-sendi kehidupan bangsa kita, lembaga-lembaga negara kita, institusi-institusi yang penting untuk demokrasi kita, satu per satu tergoyahkan. Ada hal-hal yang sudah jelas di depan mata tidak benar dan tidak adil, tetapi sebagian elite kita pura-pura tidak tahu. Media kita sekarang banyak dikuasai pemodal besar, sehingga banyak masalah-masalah bangsa yang disebabkan oleh ulah pada pemodal besar yang tidak diliput, atau diliput dengan narasi yang jauh berbeda dengan apa yang sesungguhnya terjadi.

Ini berbahaya karena banyak masyarakat kita berharap kepada media untuk mendapatkan pencerahan, mendapatkan pengetahuan soal demokrasi kita. Masyarakat kita berharap media netral, tidak berpihak selain ke kepentingan bangsa, tidak menjadi propagandis kepentingan tertentu.

Saya angkat topi kepada media-media yang secara eksplisit menyatakan keberpihakan kepada partai politik, atau kandidat tertentu dalam sebuah pemilihan, atau isu politik tertentu. Apalagi jika pernyataan keberpihakannya diulang terus-menerus, sehingga masyarakat dapat mengetahui berita yang diterbitkan berat sebelah. Jangan seolah tidak berpihak, seolah netral dan tidak bisa dibeli, tetapi menjerumuskan.

Kita harus ingat, knowledge is power. Pengetahuan adalah kekuatan. Karena itu, media kerap kali dijadikan senjata.

Sekarang kita sudah bisa buka dan baca, sebagian arsip rahasia negara-negara adidaya dari tahun 60an. Kita bisa baca sendiri, bagaimana mereka, dengan media yang mereka kuasai, pernah mempengaruhi pandangan masyarakat kita terhadap politik dalam negeri kita.

Bukan tidak mungkin, apa yang pernah dilakukan di masa lalu, terus berlanjut hingga sekarang. Amerika Serikat-pun mengalami ‘gangguan’ serupa di Pemilu mereka tahun 2016 dan 2020 lalu.

Source link