Perilaku Pemimpin Sejati – prabowo2024.net

by -86 Views

Seorang pemimpin militer akan terbentuk kepribadian dan kepemimpinannya dalam pertempuran. Saya termasuk beruntung Seorang perwira muda yang sempat mengalami pembinaan, penggemblengan, pengasuhan, mentorship dari banyak pelaku perang kemerdekaan dan pelaku operasi-operasi militer dalam sejarah awal Republik Indonesia.

Pada waktu itu tidak ada jaminan bahwa Repubik Indonesia bisa survive. Karena tidak ada anggaran untuk pemerintah. Tidak ada anggaran untuk tentara. Kebangkitan bangsa ditentukan oleh keputusan ribuan atau puluhan ribu putra-putri Indonesia dari berbagai suku, ras, kelompok etnis, dan daerah.

Mereka dihadapkan pada pilihan antara bergabung dalam gelombang kebangkitan untuk merdeka atau diam mencari aman menghindari risiko apa pun. Mereka memilih mempertaruhkan nyawa untuk merebut kemerdekaan sehingga kita bisa menjadi bebas dari penjajahan yang telah berlangsung selama ratusan tahun.

Mereka inilah yang kita kenal sebagai angkatan ’45. Mereka adalah “generasi pembebas.” Angkatan ’45 ini bisa dikatakan sebagai Generasi Terbaik Indonesia.

Sebagai anak muda, sebagai Taruna Akademi Militer, dan sebagai perwira muda, saya merasa beruntung sempat berinteraksi dengan banyak tokoh dari angkatan ’45. Bahkan keluarga saya sendiri adalah keluarga pejuang, bagian dari angkatan ’45.

Kakek saya, Margono Djojohadikusumo, adalah orang yang dipercaya oleh Bung Karno untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan pada saat Bung Karno dan semua tokoh nasionalis pribumi ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke luar Jawa.

Pada saat Bung Karno dibuang ke Pulau Ende, Nusa Tenggara Timur, Pak Margono dipanggil oleh Bung Karno, yang menyerahkan mandat kepada kakek saya untuk membentuk Partai Indonesia Raya (PARINDRA) dan sekaligus menjadi Ketua Umumnya. Karena pada waktu itu Partai Nasional Indonesia (PNI) yang merupakan partai utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia telah dibekukan oleh Belanda dan hampir semua tokoh-tokohnya ditangkap.

Dua putra beliau, Letnan Subianto Djojohadikusumo dan Taruna Sujono Djojohadikusumo, juga bagian dari angkatan ’45. Dua paman saya itu gugur dalam pertempuran melawan tentara Jepang pada tanggal 25 Januari 1946.

Dalam peristiwa yang terkenal dengan sebutan Pertempuran Lengkong itu, para taruna Akademi Militer Tangerang di bawah kepemimpinan Mayor Daan Mogot berusaha merebut senjata dari pangkalan Jepang. Namun nahas, hampir semua taruna gugur dalam pertempuran tersebut termasuk komandannya dan dua paman saya.

Orang tua saya, Soemitro Djojohadikusumo, begitu pulang dari negeri Belanda sebagai Doktor Ekonomi pertama Republik Indonesia lulusan Universitas Rotterdam, langsung bergabung dan berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dia terlibat dalam penyelundupan karet dan kopra ke luar Indonesia dan menyelundupkan senjata dari luar untuk pasukan Indonesia.

Beliau juga ikut serta dalam percetakan dan pembuatan uang pertama Indonesia yang dikenal dengan ORI (Oeang Republik Indonesia). Pada usia 29 tahun, beliau menjadi Asisten Pribadi Perdana Menteri RI I, Sutan Sjahrir.

Saya lahir pada tahun 1951 atau 10 bulan setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Memori-memori pertama saya pada saat masih kecil adalah mengunjungi Taman Makam Pahlawan tempat dua paman saya dimakamkan, dan mengunjungi rumah kakek saya pada hari Minggu.

Kakek saya selalu memasang tenda militer milik paman saya di halaman sebelum saya tiba. Jadi kedatangan saya selalu disambut tenda militer tersebut. Kakek saya juga selalu memperlihatkan tempat tidur dua paman saya, ransel dan helm mereka yang masih dipelihara oleh kakek dan nenek saya. …

Sumber: https://prabowosubianto.com/perilaku-pemimpin-sejati/

Source link